Bekantan (Nasalis larvatus)

Bekantan (Nasalis larvatus)

Bekantan (Nasalis larvatus)

Bekantan (Nasalis larvatus) atau Proboscis monkey merupakan spesies endemik yang mendiami hutan bakau (mangrove) di pulau Kalimantan (Indonesia, Malaysia dan Brunei). Di Kalimantan, Bekantan dikenal juga dengan nama Kera Belanda, Pika, Bahara Bentangan, Raseng dan Kahau (Supriatna et al. 2000). Berdasarkan filogenetiknya, Bekantan termasuk ke dalam famili: Cercopithecidae; genus: Nasalis; spesies: Nasalis larvatus (Wurmb 1787). Saat ini, terdapat dua subspesies Nasalis larvatus, yaitu: Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis.

 Morfologi dan Tingkah Laku

Bekantan dicirikan oleh bentuk hidungnya yang unik, sehingga mudah dikenal diantara primata lainnya. Hidungnya panjang, dengan bagian muka tidak ditumbuhi oleh rambut. Panjang ekor Bekantan hampir sama dengan panjang tubuhnya, yaitu sekitar 559-762 mm. Warna rambut pada tubuhnya bervariasi,bagian punggung berwarna coklat kemerahan, sedangkan bagian ventral dan anggota tubuhnya berwarna putih keabuan. Ukuran hidung pada jantan dewasa lebih besar dari betina, demikian pula ukuran tubuhnya. Berat tubuh Bekantan jantan sekitar 16-22 kg, sementara betina berat tubuhnya sekitar 7-12 kg.

Bekantan merupakan satwa arboreal (hidup di pohon), namun terkadang turun ke lantai hutan untuk alasan tertentu. Pergerakan dari dahan ke dahan dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan melompat, bergantung, atau bergerak dengan keempat anggota tubuhnya. Selain itu, Bekantan juga perenang ulung karena di bagian telapak kaki dan tangannya memiliki selaput kulit (web) seperti pada katak, sehingga memudahkan Bekantan untuk menyeberang sungai.

Bekantan termasuk primata diurnal, yaitu aktifitasnya dilakukan mulai dari pagi hingga sore hari. Menjelang sore hari, Bekantan umumnya akan mencari pohon untuk tidur di sekitar tepi sungai. Anggota kelompok akan bergabung dalam satu pohon atau pohon lain yang letaknya berdekatan. Bekantan tidak membuat sarang untuk tidurnya.

Bekantan mengkonsumsi hampir semua bagian tumbuhan dengan komposisi, yaitu lebih dari 50% daun muda, sekitar 40% buah dan sisanya bunga dan biji. Selain mengkonsumsi sumber pakan asal tumbuhan, Bekantan kerapkali mengkonsumsi beberapa jenis serangga. Saat musim surut, Bekantan sering turun ke tanah untuk mencari serangga tanah.

Koloni Bekantan

Koloni Bekantan (Nasalis larvatus)

Persebaran dan Status Konservasi

Bekantan tersebar luas di hutan-hutan sekitar muara atau pinggiran sungai di Kalimantan. Di Kalimantan Selatan, Bekantan dapat ditemui di daerah hutan rawa, atau muara dan pinggiran sungai  Pulau Kaget dan Pulau Laut. Di Kalimantan Barat, satwa ini menempati daerah hutan bakau di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Palung, sedangkan di Kalimantan Tengah mudah dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting, atau di sekitar Sungai Mahakam. Selain itu, Bekantan juga ditemukan di Taman Nasional Kutai serta hutan rawa gambut dan hutan bakau di pantai Kalimantan Timur.

Berdasarkan Redlist IUCN (the International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), Bekantan termasuk dalam kategori Genting (Endangered). Bekantan juga termasuk primata yang terdaftar di dalam Appendix I dari CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang berarti tidak boleh diperdagangkan.

Ancaman

Ancaman utama kelestarian Bekantan adalah kerusakan habitat dan perburuan ilegal. Alih fungsi hutan dan illegal loging serta Kebakaran hutan juga memberikan pengaruh terhadap penurunan populasi  Bekantan di Kalimantan. Oleh karena itu perlu peraturan-peraturan yang jelas serta tindakan tegas dari pemerintah bagi pelaku perburuan ilegal maupun perusak hutan.

 

Editor: Dyah Setyawaty

Photo: Dyah Setyawaty

Referensi:

http://www.theprimata.com/nasalis_larvatus.html

Meijaard E, Nijman V dan Supriatna J. 2008. Nasalis larvatus. The IUCN Red List of Threatened Species 2008:e.T14352A4434312.

http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T14352A4434312.en. Downloaded on 07 February 2017.

Supriatna J dan Edy H W. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. ISBN 979-461-355-X